Minggu, 14 April 2013

Ini coretan dari blog sundaysharing.wordpress.com


Alhamdulillah, pagi ini angka dua puluh telah terukir, menggenapi langkah-langkah sobat SSL menapaki jalan akhir pekan kota Pahlawan. Satu semester lebih dua pekan lah kalo dikonversi ke masa kontrak perkuliahan. Tiga belas ‘cecunguk’ terkumpul untuk meramaikan perkumpulan makhluk-makhluk ‘kurang kerjaan’. Lima puluh satu bungkus nasi siap beredar di kordinat sekian koma sekian. Dan, tiga rute siap disusuri para ‘ksatria’ berkaki karet.
Ketahuilah sobat, anda telah bertanggung jawab atas hilangnya waktu kami. Sumbangan anda telah mengakibatkan amanah di pundak kami semakin berat. Ratusan nasi telah tersebar semenjak kali pertama pendeklarasian. Jutaan uang telah ‘lenyap’ hanya untuk ‘disebar’ ke jalanan. Karena sumbangan dari anda yang terus mengalir, itu artinya anda memaksa kami untuk terus bergerak melawan belaian lembut bantal dan guling, memaksa kami berpanas-panasan di atas aspal, memaksa kami melawan segala goda untuk bermalasan di akhir pekan. Inilah ucapan ‘kebencian’ dari kami untuk kalian. Kebencian yang membungkus kado bernama terima kasih.
Sobat, di tulisan ini kami ingin sedikit bercerita tentang suatu kisah. Kisah yang tercipta akibat wawancara dadakan dengan salah seorang kakek yang kami temui pagi ini. Seorang kakek yang sebelumnya pernah nongol juga di situs ‘terkemuka’ ini. Saya dan seorang partner saya yang di’eyang’kan, menghampiri beliau yang pada waktu itu kebetulan sedang menghampiri istrinya yang berada di dalam ‘rumah beroda’ (baca: becak). Setelah pemilik nasi berpindah tangan, kami menyempatkan diri untuk mengajak beliau ngobrol sejenak. Dari obrolan yang cukup singkat, kami memperoleh beberapa informasi mengenai beliau.
563226_4141824283692_765779129_n
Sang kakek bernama kek Usman, dan istrinya bernama nek Kamsini (kalo g salah!). Sudah semenjak enam tahun yang lalu, kek Usman mengandalkan jalanan Surabanya sebagai ladang rezekinya. Umur beliau saat ini adalah 75 tahun. Alamat aslinya di Kertosono. Di Surabaya, beliau tinggal di tempat kos-kosan (lupa daerahnya!). Beliau sempat bercerita, “Dulu waktu awal-awal di Surabaya, kami (kakek Usman dan istri) pernah diciduk satpol PP mas. Istri saya dikiranya minta-minta, padahal waktu itu saya juga jualan koran. Ya korannya saya bawa juga ketika diciduk satpol PP. Waktu itu kami di bawa ke Keputih untuk mendapatkan penyuluhan selama 3 bulan mas.” Ungkap beliau dengan sedikit redaksi yang berbeda.
Biasanya beliau berjualan mulai jam 6 pagi-10 siang. “Kalo terlalu lama kasian ibu mas, tidak kuat berlama-lama di dalam becak.” Terang beliau. Hingga timbul suatu tanya yang mungkin agak kurang sopan, kami menanyakan kepada beliau,”Kakek punya putra?“. Dengan raut wajah yang agak berbeda, beliau menuturkan,”Yang diATAS belum ngasih keturunan mas!”. Kami agak trenyuh mendengar jawaban si kakek. Melihat kondisi beliau berdua yang sudah mulai melemah, jawaban itu seolah menjadi pukulan buat kami. Sosok tua yang menyadari bahwa ada Kuasa yang menghadirkan ini semua, dan sadar akan segala keterbatasan sebagai seorang makhluk. Yakin bahwasannya ada hikmah besar di balik ini semua. Diskusi pun masih kami lanjutkan, kali ini ketambahan 1 investigator dari bidang ahli per-game-an dan dokumentator.
Kakek mengungkapkan niatnya kepada kami untuk mudik lebaran tahun ini ke rumahnya di Kertosono. Di Surabaya, beliau tidak punya saudara sama sekali. Bahkan beliau sempat menceritakan kalau kos di tempatnya menginap tidak terlalu mempedulikan keberadaannya disitu. “Kadang saya kalau sembahyang di gubeng situ mas!” Ungkap kek Usman setelah mendengarkan sedikit ‘pembesaran hati’ yang kami sodorkan untuk beliau. Kami juga mendapat informasi bahwa sewa tempat kos perbulan adalah 200ribu, bahkan becak yang kami kira selama ini adalah milik beliau ternyata becak sewaan seharga 2ribu rupiah perhari. Untuk makan beliau tidak masak sendiri. “Makannya 2 kali sehari mas, kadang ya sekedar minum kopi!” Ujar kakek. Selama perbincangan, sang istri tak banyak bicara, nenek lebih banyak mendengarkan jawaban dari kekasih tercintanya.
Semoga Allah senantiasa memberi kakek dan nenek kesehatan!”. “Terima kasih mas, semoga dilancarkan rezekinya!” Balas sang kakek. “Aaaaaamiiiiiin!” Jawaban akhir kami yang menandakan perpisahan kami dengan pasangan paling harmonis yang kami temui pagi ini. Usia pernikahan yang tidak lagi muda, tidak dikaruniai keturunan, hidup dengan memanfaatkan jalanan bukan untuk meminta-minta, dan ujian lain yang dengan tegar dihadapi kakek dan nenek ini. Terima kasih kek dan nek Usman, kau telah berikan pelajaran berharga kepada kami. Itulah sedikit bincang yang bisa kami bagikan kepada sobat sekalian. Semoga bisa diambil pelajarannya. Dan sebagai penutup, pesan dari Yang Maha Benar:
“…Karunia ini merupakan pemberian Rabbku untuk menguji imanku, apakah aku bersyukur atau aku kufur. Siapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedang siapa kufur, sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (an-Naml:40).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Najib Nasich Blog